DESA RASA KOTA


Desa. Apa yang kalian bayangkan tentang desa, sawah, suara ayam, kicau burung, atau bahkan kicau kambing “tapi kambing tidak berkicau” tapi? Jawab sendirilah.
Ada desa yang masyarakatnya masih menjunjung tinggi gotong-royong. Ada, masih banyak desa-desa yang masyarakatnya masih sangat bersahaja khas pedesaan yang ada di film-film atau di FTV.
Tapi sayangnya hidup tidak seindah dan semudah di FTV, ada yang kuliah awalnya dia ospek terus bertemu dengan wanita cantik dan mereka pacaran tak lama kemudian mereka sudah wisuda dan dalam hitungan detik mereka sudah kerja kemudian menikah, kan kampret, kapan mereka buat skripsinya. Oke itu cuma perumpamaan, itu masalah pribadi saya.
balik lagi ke desa, kadang desa juga ngga sebersahaja kaya di film-film sama di FTV. Emang sih masih ada desa yang masyarakatnya masih bersahaja, tapi mereka termarjinalkan, so emang kenapa bisa gitu. Sekarang itu banyak orang-orang desa yang menyembah uang, yang kaya yang dihormati dan yang beruang yang punya jabatan. Anak pejabat ujung-ujungnya dia juga bakal jadi pejabat, terus orang-orang yang duitnya minim sama otaknya yang juga minim, mereka “menghamba” sama yang berduit.
Terus siapa yang jadi korban dari suasana pedesaan yang ngga kaya di FTV ini, yaaaa kasianlah sama mahasiswa KKN. Gimana ngga kasian coba, mereka yang mau KKN itu biasanya berkhayal gini “ntar gue bakal tinggal di desa selama berbulan-bulan terus pulang-pulang gue bakal bisa masak masakan surga khas pedesaan” hmmmm lejad. Itu kalau yang cewek. Terus kalau anak cowok gini “aaaaajib KKN men, pasti muda mudi di desa ngga fake kaya di kota, kalau yang cewek cantik-cantik terus polos-polos, terus kalau yang cowok pasti enak untuk diajak bergaul”.
Oke cukup calon mahasiswa-mahasiswa KKN mimpinya. Tidak semua desa seperti itu, ada yang tidak beda jauh sama di kota, tapi ada juga yang masih pedesaan sekali.
Saya merasa jadi mahluk tuhan paling beruntung waktu KKN dulu, memang  awalnya kita merasa terpelosok untuk bisa hidup di desa yang besarnyaa kira-kira cuma enam kali lapangan bola, alhasil proker kita selama dua minggu pertama adalah bertahan hidup di belantara hutan yang di tengah-tengahnya ada desa.
Jalan kesana itu greget banget, jalannya kurang kasih sayang dari pemerintahnya, tapi pas sampai kesana masyarakatnya penuh kasih sayang, beda tidak seperti jalan kesana, dan disana saya baru ngerasain lagi seutuhnya hidup di desa, sama seperti di desa saya dulu, yaa dulu waktu saya masih TK.
Bagaimana sejarahnya orang-orang di desa bisa terinfeksi virus orang-orang  komplek elit di kota-kota besar. Mungkin karena anak-anak alay yang suka update status di medsos terus di tambahin lokasi kalau mereka lagi ada di desa mereka dan di belakang nama desa mereka itu di tambahin kata CITY, misal “Kapal Selam City” padahal kan nama desa mereka Kapal Selam dan City artinya kota. Mungkin gara-gara itu kali ya kelakuan masyarakatnya ngalahin keangkuhan orang-orang kota “ tapi tidak semua orang kota angkuh sih”.
Terus bagaimana juga sejarahnya kalau menjadi PNS itu adalah pekerjaan para dewa, kalau jadi PNS terus orang itu jadi dewa, bukan itu maksud saya. Tapi mereka anggap kalau sudah menjadi PNS itu mereka merasa sudah sukses dan seolah sudah menjadi keharusan sampai rela bayar ratusan juta supaya bisa menjadi PNS.
Mungkin ini yang namanya penyakit sosial, mereka rela melakukan apapun demi suatu jabatan dan tentunya ujung-ujungnya untuk mendapatkan uang banyak dengan kerja santai.
Terus masih adakah orang yang punya hati bersih, yang tidak menghalalkan segala cara untuk uang. Ya jelas ada, jumlah mereka mungkin 10 dari 20 masyarakat desa. Laaah itu desa apa anggota OSIS kok cuman 20 isinya. (ini jumlah populasi hasil survey Cak Lontong)
Jumlah mereka memang seimbang, terus kok bisa kalah sama 10 orang yang fake tadi, kalau berantem juga mungkin mereka bisa menang.
Tapi balik lagi ke duit, mereka kalah duit. Uang memang berkuasa di atas segalanya.
Semoga dan semoga, kedepannya akal sehat bisa mengalahkan kekuasaan uang.
Dan yang pasti “uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang”. (...), 

Wassallam.


0 Response to "DESA RASA KOTA"